Industri Garmen Bangladesh : Dilema Pembangunan antara Skema Pertumbuhan Ekonomi dan Eksploitasi Buruh Garmen

Ridho Aryawan
9 min readNov 9, 2021

--

Di era studi pembangunan dan ekonomi modern, inti dari makna pembangunan dikuasai oleh indikator ‘economic growth’ (Pieterse, 2010, p. 6). Secara literal, keberhasilan pembangunan hanya bisa dicapai apabila ekonomi di suatu negara bertumbuh. Makna pembangunan semacam ini (economic growth) juga diamini oleh salah satu perspektif pembangunan yang mulai muncul di era 1980an; neoliberalisme. Sebagaimana perspektif liberal lainnya, neoliberalisme mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan hanya bisa didapatkan ketika kondisi pasar telah privat, bebas dan tanpa regulasi yang menghambatnya. Perbedaan dari neoliberalisme dengan teori liberalism lain ada pada caranya dalam mencapai kondisi pasar yang privat, bebas dan tanpa regulasi (Pieterse, 2010, p. 7). Cara neoliberalisme dalam mewujudkan kondisi pasat tersebut ,secara garis besar, adalah dengan mendorong negara menciptakan kebijakan yang dapat membentuk kondisi pasar bebas tersebut.

Metode pembangunan semacam ini diikuti oleh banyak negara di waktu yang berbeda. Termasuk juga Bangladesh di era 1980an hingga kini. Model pembangunan neoliberalisme Bangladesh setidaknya mulai bisa dilihat dari penerapan reform policies paska keruntuhan pemerintahan sosialis Sheikh Mujibur Rahman pada 1975. Nuruzzaman (2004) mencatat bahwa implementasi reform policies ini terdiri dari tiga dimensi yang tentunya berkaitan erat dengan neoliberalisme, yaitu : 1) demands management policies (seperti : minimalisasi pengeluaran belanja negara dan devaluasi mata uang); 2) structural adjustment policies (seperti : liberasiasi perdagangan dan pengurangan subsidi pemerintah); 3) institutional policies (seperti : denasionalisasi badan usaha pemerintah dan privatisasi aktivitas ekonomi). Hasil pengimplementasian tiga dimensi reform policies Bangladesh paling kentara diterapkan di sektor industri garmen. Bagaimana tidak. Sebagaimana laporan dari United Nations Population Fund, kemajuan industri garmen Bangladesh berkat dukungan reform policies menjadi sumber utama dari cepatnya pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Sektor ini juga memainkan peranan signifikan dalam proses industrialisasi Bangladesh yang semula amat bergantung dengan sektor agrarianya. Hal ini dapat diartikan sebagai keberhasilan projek pembangunan apabila, ide pembangunan dimaknai dalam lingkup pertumbuhan ekonomi semata.

Di sisi lain, pengaruh besar industri garmen terhadap pertumbuhan ekonomi dan proses industrialisasi di Bangladesh tidak diiringi dengan peningkatan kemaslahatan para pekerjanya. Sebagian besar buruh garmen negara tersebut harus bekerja dalam kondisi yang tidak layak di berbagai aspek. Upah yang kurang dari standar, pelecehan seksual, dan ketidaklayakan kantor merupakan resiko sehari — hari yang dihadapi para buruh garmen di Bangladesh (Enloe, 2014).

Pembangunan sebagai sebuah diskursus ilmu pengetahuan barang tentu dipenuhi oleh kontestasi produk keilmuan yang beragam. Selain pembangunan ala pertumbuhan ekonomi, salah satu produk keilmuan di kajian pembangunan yang relevan dalam melihat situasi para buruh garmen Bangladesh datang dari perspektif marxis. Fenomena yang dihadapi para buruh garmen tersebut mencerminkan kegagalan pembangunanan dalam makna yang berbeda. Kacamata pembangunan marxis ini kemudian menghadirkan kritik dari aspek sosial terhadap implementasi model pembangunan yang berjalan di Bangladesh.

Di titik ini, tulisan mencoba berargumen bahwa pesatnya industi garmen di Bangladesh mencerminkan dua sisi koin pembangunan yang berlangsung di negara tersebut. Di satu sisi, industri garmen memberikan dampak positif terhadap upaya pembangunan di negara tersebut apabila ia dimaknai dalam konteks neoliberalisme dan economic growth-nya. Pasalnya, industri ini mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan proses industrialisasi Bangladesh. Di sisi lain, perkembangan industri garmen bisa dianggap sebagai kegagalan sebuah upaya pembangunan apabila ia dimaknai dalam konteks marxisme dan aspek sosialnya. Preposisi ini dilandasi oleh dua alasan. Pertama, kebijakan pembangunan paska pemerintahan sosialis Sheikh Mujibur Rahman justru menciptakan ketimpangan dan diskriminasi sosio-ekonomi masyarakat Bangladesh secara keseluruhan (Nuruzzaman, 2004). Kedua, para buruh yang notabene langsung terlibat dalam industri garmen (katalisator utama dari pembangunan Bangladesh) justru menghadapi eksploitasi dan alienasi dalam kesehariannya.

Neoliberalisme dan Perkembangan Industri Garmen Bangladesh

Ide — ide pembangunan yang digunakan di tiap negara tidak bisa diangggap hanya merupakan pilihan berdasarkan rasionalisasi ekonomi semata. Pilihan model pembangunan yang akan diambil tiap negaranya amat dipengaruhi dengan dinamika diskursus pengetahuan pembangunan (Pieterse, 2010, pp. 8–11). Artinya, ide pembangunan yang satu dan yang lainnya bersifat antagonistik. Pada akhirnya, ide yang berpeluang besar diambil merupakan ide yang sedang menghegemoni narasi diskursus pembangunan pada saat itu. Variabel lain yang perlu diperhatikan dalam menganilisis pilhan negara dalam mengadopsi salah satu model pembangunan yakni faktor historis dan keadaan politik dalam negeri (Pieterse, 2010, p. 8).

Ada tiga faktor dalam menjelaskan pilihan neoliberalisme sebagai model pembangunan yang dipilih untuk diadopsi Bangladesh saat itu. Pertama, Ullah (2015) menyebutkan bahwa hegemoni dalam diskursus perkembangan pembangunan sebagai ilmu pengetahuan diduduki oleh neoliberalisme. Perspektif ini kokoh diatas melihat kondisi ekonomi yang sedang dipenuhi oleh pembicaraan terkait fenomena globalisasi dan financial capital. Kedua, kegagalan pengimplementasian sosialisme dalam masyarakat Bangladesh. Kebijakan perekonomian pemerintahan Bangladesh saat itu ditambah dengan meluapnya Sungai Brahmaputra berujung pada kelaparan masif yang mana mengakibatkan sekitar satu juta orang menjadi korban jiwa. Ketiga, perubahan relasi kuasa politik dalam negeri. Pengambilalihan pemerintahan Bangladesh dari Syeikh Mujibur Rahman membuka peluang bagi ide ekonomi politik apapun untuk masuk mengingat perubahan relasi kuasa. Di titik itu, World Bank masuk dengan membawa model pembangunan neolibraliseme dan model kebijakan structural adjustment (Ullah, 2014).

Model pembangunan neoliberalisme membawa banyak pengaruh bagi perkembangan makroekonomi Bangladesh secara luas dan pesatnya perkembangan industri garmen Bangladesh secara spesifik. Dari segi makroekonomi, kebijakan neoliberalisme Bangladesh yang diatur dalam reform policy berhasil membawa keseimbangan di neraca fiscal negara Asia Selatan tersebut (Nuruzzaman, 2004, pp. 33–36). Hal ini bisa dilihat dari keberhasilan ekonomi negara tersebut dalam melakukan kontrol terhadap tingkat inflasi, neraca perdagangan, dan foreign exchange reserves. Dari dekade 1990/91 ke 2001/02, tingkat inflasi turun dari yang semula di angka 8,3 persen hingga mencapai angka 2,79 persen. Di variabel temporal yang sama, deficit neraca perdagangan bisa ditekan dari yang semula -3,9 persen hingga mencapai titik nol. Selain itu, cadangan devisa negara pun terus bertambah dari yang semula 880 juta US Dollar hingga sampai pada angka 2039 juta US Dollar.

Kondisi ini ,sebagaimana yang disampaikan Bangladesh Economic Survey (2002), membuat pemerintahan saat itu memiliki posisi finansial yang cukup sehat. Dampak positif yang didapakan ini memberikan kepercayaan lebih atas model pembangunan neoliberalisme. Inovasi kebijakan dalam mendorong klausul yang dilayangkan neoliberalisme berkembang pesat. Salah satunya ada New Industrial Policy di tahun 1982. Kebijakan ini secara garis besar bertujuan untuk mempercepat proses industrialisasi Bangladesh lewat mengganti tipe industri ke model private sector-led industrial growth. Caranya adalah dengan menjual dan mengembalikan perusahan yang dinasionalisasi. Disini lah, awal mula kejayaan industri pakaian Bangladesh. Sebanak 27 pabrik tekstil yang tergolong industri besar dikembalikan lagi ke sektor privat. Meski mengalami berbagai permasalahan, maraknya pabrik garmen milik privat di Bangladesh membuka mata investor terhadap peluang — peluang sumber daya manusia yang dimiliki negara Asia Selatan tersebut (Hossain, 2009). Sadar akan hal tersebut, dukungan berupa kebijakan datang dari dalam maupun luar negeri. Di dalam negeri, Bangladesh sejak 1980 menyiapkan One Stop Service dalam rangka penyederhanaan birokrasi izin untuk investasi industri garmen. Di luar negeri, Bangladesh dibebaskan dari kebijakan kuota ekspor-impor negara. Walhasil, kita bisa melihat industri ini memainkan peranan penting terutama dalam menyediakan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan di lebih dari dua juta orang secara langsung dan sepuluh juta orang secara tidak langsung.

Pengaruh Implementasi Privatisasi Reform Policy Bangladesh terhadap Ketimpangan sosio-ekonomi

Alasan utama dari program privatisasi perusahaan yang dilakukan pemerintahan Bangladesh adalah keadaaan inefisiensi perusahaan publik yang tidak terhindarkan (Momen, 2007). Selain itu, ada tiga alasan lain yang melandasi kebijakan privatisasi Bangladesh (Momen, 2007). Pertama, menjaga demokrasi melalui sektor ekonomi dengan meliberalisasi inisiatif perusahaan. Kedua, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan serapan tenaga kerja. Ketiga, meminimalisir peluang defisit neraca keuangan negara. Kecuali tujuan terakhir, tiga dari empat tujuan sebelumnya justru berbanding terbalik dengan output yang diharapkan oleh program liberalisasi semacam ini. Ada beberapa alasan yang mengakibatkan tiga dari empat tujuan tadi tidak tercapai.

Asumsi utama dari pemberlakuan kebijakan privatisasi adalah perusahaan yang dibiarkan beroperasi mengikuti aturan pasar tanpa capur tangan siapapun akan lebih efisien ketimbang perusahaan publik. Mudahnya, perusahaan privat lebih gampang mendapatkan untung. Asumsi ini lantas diturunkan menjadi asumsi yang lebih spesifik yakni semakin banyak perusahaan privat berpengaruh pada semakin meningkatkan serapan kerja begitu pu pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, asumsi ini tidak berlaku di Bangladesh. Menurut studi dari (The Board of Investment, 1999), perusahaan paska-privatisasi justru memiliki jangka waktu produksi yang lebih lama, sistem manajerial yang tidak efisien dan buruknya performa keuangan ketimbang sebelum di privatisasi. Hal ini pun didukung oleh penilitian dari (Sobhan & Ahsan, 1984) yang mana mengindikasikan penurunan efisiensi produksi 20 dari 22 perusahaan paska privatisasi. Fakta ini mengindikasikan bahwa tujuan kedua yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan serapan tenaga kerja melalui privatisasi Bangladesh tidak kunjung tercapi.

Alasan menarik lainnya adalah kondisi sosio-kultural masyarakat Bangladesh. Menurut Smith (2019), kondisi sosio-kultural Bangladesh tidak memiliki kelompok/kelas masyarakat pengusaha sehingga mengakibatkan stagnansi dari perusahaan yang berhasil di privatisasi. Argumen yang pertama kali dikemukakan oleh Smith dalam editorial Bloomberg didukung oleh eksekusi yang sembrono dari para birokrat (Smith, 2019). Dalam studi (Loreh, 1988), Ia menemukan bahwa perpindahan tangan perusahaan paska privatisasi dilaksanakan tanpa pertimbangan komprehensif soal kemampuan keuangan ataupun kapabilitas manajerial pihak yang akan memegang perusahaan eks-negara. Hal ini pun didukung oleh temuan BOI (1999) bahwasanya dari sejumlah 499 perusahaan yang dilaporkan negara telah diprivatisasi, hanya 175 perusahan yang benar — benar beroperasi. 133 perusahan langsung menutup diri paska kepemilikan berpindah tangan. Banyak yang mengasumsikan bahwa penutupan privat perusahaan tersebut karena pemilik baru menjual alat dan fasilitas pabrik sehingga mendapatkan keuntungan dari spekulasi ekonomi yang dijalankannya. Sisa 141 perusahaan lainnya malah tidak pernah ditemukan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa tujuan pertama yakni menjaga demokrasi melalui sektor ekonomi dengan meliberalisasi sehingga inisiatif perusahaan muncul tidak akan kunjung tercapai mengingat hal semacam ini.

Selain itu, ada pula dorongan dari aktor luar seperti world bank dan IMF untuk memberikan kelancaran bagi pengajuan pinjaman dari sektor privat (Ullah, 2014). Ia juga meminta pemerintahan terkait untuk melonggarkan sementara sanksi atas keterlambatan pembayaran kredit. Hal ini justru malah berkontradiksi dengan tujuan ketiga yaitu meminimalisir peluang neraca keuangan negara untuk deficit.

Terlepas dari beberapa hal tersebut, proses privatisasi yang kurang komprehensif justru mendatangakan ketimpangan dan diskriminasi sosio-ekonomi dari masyarakat Bangladesh. Hal ini bisa kita saksikan pada akumulasi resources dan kapital yang hampir seluruhnya dimiliki oleh sebagian kecil kelompok masyaratak Bangladesh. Salah satu penyebab dari ketimpangan ini adalah kemudahan dalam mengajukan pinjaman bank yang kemudian membentuk 37 keluarga terkaya Bangladesh (Nuruzzaman, 2004, pp. 41–43). Hal ini semakin miris ketika meningat bahwasanya kebijakan pro pasar dan economic reforms yang dilakukan pemerintahan Bangladesh didasari motif agar rezimnya bisa bertahan (Nuruzzaman, 2004, pp. 40–44). Alasan percepatan ekonomi dan mengatasi tantangan pembangunan tidak pernah menjadi alasan pertama dari para pemegan status — quo di pemerintahan Bangladesh.

Eksploitasi dan Alienasi Buruh Garmen Bangladesh

Hampir seluruh buruh yang bekerja di industri garmen Bangladesh merupakan perempuan (Enloe, 2014, p. 259). Setiap hari mereka mengalami berbagai kekerasan baik secara fisik maupun non-fisik; secara subjektif ataupun objektif. Kekerasan — kekerasan ini beriringan terjadi dengan eksploitasi dari tenaga buruh garmen. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui mekanisme alienasi (Peet & Hartwick, 1999.). Di kasus ini, alienasi juga merupakan hasil dari manipulasi ide konsep anak perempuan, konsep keibuan, dan konsep feminitas (Enloe, 2014, p. 260). Manipulasi ide ini bekerja melalui mekanisme politik di setiap ruang sosial. Baik di lingkup privat ataupun publik. Setidaknya ada empat mekanisme politis yang membuat ketimpangan ini tetap berjalan.

Pertama, manipulasi ide soal perempuan dan apa yang bisa dikerjakannya (Enloe, 2014, p. 279). Mekanisme ini mengakibatkan alienasi dari diri sendiri. Mari lihat kasus upah wanita di industri garmen. Ide soal menjahit dimanipulasi sedemikian rupa sebagai pekerjaan yang dilakukan wanita secara ‘natural’. Pekerjaan yang bisa dikerjakan secara natural bukan lah sebuah skill. Dengan begitu, buruh garmen perempuan bisa dibayar murah karena setiap perempuan secara natural dianggap bisa menjahit. Implikasi lain dari manipulasi ide ini adalah keterbatasan dalam memilih pekerjaan. Dengan mengangkat sebuah pekerjaan sebgai suatu hal yang cocok untuk perempuan, ia juga secara serta merta menegasikan pekerjaan lain yang dijalankan perempuan. Hal ini memuncul kan stigmatisasi Light industries dan Heavy industries. Light industries yang tidak melibatkan pekerjaan kasar dianggap cocok untuk perempuan. Sedangkan, Heavy industries yang membutuhkan banyak tenaga secara langsung dianggap tidak cocok bagi perempuan.

Kedua, Mekanisme selanjutnya untuk membuat upah murah bagi perempuan dilakukan dengan cara memberikan tempat bagi laki — laki untuk melakukan pekerjaan yang dianggap membutuhkan skill (Enloe, 2014, p. 280). Mekanisme ini mengakibatkan alienasi dari orang lain. Caranya mudah mengingat ide soal pekerjaan yang butuh skill tinggi dan yang tidak telah dimanipulasi. Sebagai contoh, buruh laki — laki di industri garmen lebih banyak ditempatkan di proses produksi yang membutuhkan teknologi seperti membuat kancing. Asumsinya pekerjaan yang menggunakan teknologi membutuhkan kemampuan khusus. Walhasil, kondisi ini pun meberikan jalan bagi pengupahan murah bagi buruh wanita di industri garmen.

Ketiga, manipulasi ide yang menganggap perempuan sebagai tulang punggung kedua bagi keluarga setalah laki — laki (Enloe, 2014, p. 281). Mekanisme ini mengakibatkan alienasi dari proses kerjanya, Selain berimplikasi pada ketimpangan upah, hal ini juga merugikan perempuan di lingkup keluarga karena pada faktanya pekerjaan rumah yang dilakukan pekerja perempuan lebih banyak ketimbang laki — laki yang juga bekerja. Keempat, manipulasi ide yang mengasumsikan pekerja perempuan hanya bekerja hingga ia mendapatkan suami.

Referensi

Enloe, C. (2014). ‘Women’s Labour is Never Cheap : Gendering Global Blue Jeans’ . In C. Enloe, Bananas, Beaches, and Bases: Making Feminist Sense of International Politics. (pp. 250–305). Los Angeles: University of California Press.

Hossain, B. S. (2009). The contribution of garments industry in Bangladesh economy. International Journal of Advanced Scientific Research, 11–14.

Loreh, K. (1988). The Privatization Transaction and Its Long-term Effects: A Case Study of the Textile Industry in Bangladesh . Harvard Institute for International Development.

Momen, N. (2007). Implementation of Privatization Policy : Lessons from Bangladesh . The Innovation Journal: The Public Sector Innovation Journal, Volume 12(2), article 4.

Nuruzzaman, M. (2004). Neoliberal economic reforms, the rich and the poor in Bangladesh. Journal of Contemporary Asia 34 vol.1, 33–54.

Peet, R., & Hartwick, E. (1999.). Chapter 4. In R. Peet, & E. Hartwick, Theories of development : contentions, arguments, alternatives. New York and London: Guilford Press. Ch. 4.

Pieterse, J. N. (2010). Bab 1. In J. N. Pieterse, Development theory (2nd ed). Los Angeles: Sage Publications.

Smith, N. (2019, Feburary 25). Opinion Bloomberg. Retrieved from Bloomberg: https://www.bloomberg.com/opinion/articles/2019-02-24/bangladesh-and-india-pursue-different-economic-models-for-growth

Sobhan, R., & Ahsan, A. (1984). Disinvestment and Denationalization: Profile and Performance . Bangladesh Institute of Development Studies.

The Board of Investment. (1999). Privatization Board. Dhaka: Government of the People’s Republic of Bangladesh.

Ullah, A. (2014). Garment Industry in Bangladesh: An Era of Globalization and Neo-Liberalization. MIDDLE EAST JOURNAL OF BUSINESS, 14–26.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

No responses yet

Write a response